Tidak Ada Cinta Selain Cinta Itu Sendiri
"Sudah saya percayain ke kamu semua ... semuanya, Mas! Tapi kamu
enggak pernah sadarin itu kan?" ucap Adinda lirih setelah dibombardir
tanya yang menyudutkan. "Dan sekarang kamu bilang maaf? Mudah sekali!"
"Iya, Din. Maafin Mamas, ya?"
"Picik sekali jalan pikiranmu, Mas!" Dinda masih terbakar emosi, "di mana mulut manis kemarin? Hah?!"
Air mata wanita itu belum surut sejak lima tahun yang lalu. Tiada obat untuk hati yang terluka. Hingga dia putuskan untuk menyendiri. Mungkin jalan hidup akan jauh lebih baik, pikirnya.
"Tak ada usaha yang tak sampai," Adinda mengeja. "Akan ada hasil dari lelah perjuangan. Meski, banyak orang yang menjuluki hasil dengan kegagalan. Padahal jauh daripada itu semua, itulah batas kemampuan diri. Tak harus dipaksakan. Memang tak harus," lanjutnya menlis buku harian.
Bagi Adinda--gadis dua puluh tahun--ada satu momentum dalam kehidupan yang mapu mengubah jalan hidup. Entah itu menjadi lebih baik, pun menjadi lebih buruk dalam mengarungi bahtera hidup. Dunia adalah lautan. Dan banyak yang tenggelam karenanya. Sedang kehidupan laksana gelombang, yang siap membuat karam kapal sebesar apa-dan kapan pun.
"Adinda!" Pekik seorang pria dari belakang.
Adinda berhenti di jembatan penyebrangan pusat Kota Winna. Saat menoleh, pikirnya melanglang jauh--memang dalam mengarungi hidup kita hanya dihadapkan pada masa lalu : besarnya gelombang yang dilalui. Pun gambaran tentang pelabuhan di mana kapalmu menepi--mengorek, memuat ulang.
"Mas Yacob!?" Wajah gadis itu berseri. "Apa itu kau Mas Yacob?"
"Iya! Ini aku," ucap pria itu berlari kecil mendekati.
Belum sempat Adinda melepas rindu akan pertemuan itu. Pada sahabat di masa lalunya, yang sempat dititipkan harapan padanya, kini ada di hadapan, sebelumnya pergi. Dan dirasanya tidak akan pernah kembali. Kenyataan itu menyalahkan anggapannya selama ini
"Adinda sedang apa di Winna?" Yacob mengaburkan lamunan gadis masa lalunya.
"Aku mendapat beasiswa di sini, Mas." Binar wajahnya tak sanggup tutupi kebahagiaan yang membuncah. "Kalau kamu sendiri, Mas?"
"Aku? Ah, jangan bercanda Dinda. Kamu tahu kan sejak awal atas keputusanku pergi?" Kata-kata itu hanya menciptakan keheningan di antara keduanya. "Dulu, aku ingin belajar agama darimu. Tapi kurasa lagi tidak.Harus lebih dari itu untuk menjadi seorang imam."
"Maksudnya?"
"Aku sudah menjadi mualaf, yang InsyAllah lebih baik daripada yang kamu kenal dulu, Dinda."
"Apa itu alasanmu bicara tetap lembuh kepadaku, Mas? Meski aku tiap kalinya membantakmu? Jelasin ke seorang sahabat yang pernah kamu bilang seperti adikmu sendiri, Mas."
"Iya, Din. Untuk itu." Yacob menghela nafas panjang sebelum memulai. "Karena sudah jadi kewajiban seorang imam untuk tetap berkata lembut. Dan aku ingin menjadi imammu, Din."
Adinda tidak tahu bagaimana menenukan sikap. Wajahnya yang kemerah-merahan ditundukkan tiba-tiba. "Maksudmu, Mas?" Dinda kehabisan kata-kata.
"Aku selalu berharap bisa berjodoh denganmu. Dengan perempuan lembut, yang kadang mengesalkan, sungguh." Yacob menyadari jantungnya berpacu melewati waktu. "Tapi keluarga tidak akan berjalan harmonis tanpa cinta. Kita bisa saja mengucapnya berulang kali. Menceritakan cinta masing-masing setiap hari. Dan cinta yang sebenarnya hanya bisa dirasakan hati, bukan untuk dibagi. Aku jatuh cinta dengan Islam bahkan sebelum kuucap dua kalimat syahadat. Dan cinta itu yang kuyakini, kini membawamu kembali kepadaku. Percaya atau tidak, Adindaku, jadilah 'madrasah' pertama untuk keturunan kita kelak."
"Secepat inikah?" Gadis itu merasakan sepat di ujung lidah.
"Bahkan kita saling mengenal dulu. Bahkan kita dulu bersama. Bahkan kita sudah menunggu lama ... " belum usai Yacob bermetafora.
"Simpan saja semua kata manismu! Perempuan mana yang sudi menerima pinangan, Malaikat sekalipun, di pinggir jalan. Dan bukannya di hadapan kedua orang tua perempuan itu." Adinda memberanikan diri, "Datanglah ke kediaman orang tuaku, di Indonesia. Mintalah kepada mereka, jika memang Mamas bersungguh-sungguh."
Dua tahun berlalu. Tak ada yang berubah dari keduannya, selain menjadi suami-istri, kini ada Yuki. Putri cantik yang baru melihat dunia sebulan lalu.
"Dinda. Minggu depan pacarku ulang tahun. Kira-kira hadiah apa yang cocok ya?" tanya Dilla, sahabatnya yang juga berasal dari Indonesia yang datang menjengung. "Miniatur menara Eifel? atau atau couple?"
"Jaman sudah berubah, Dil, " Adinda tertawa saat bicara. "Sekarang jamannya buku coule. Buku nikah."
Dan mereka berdua tertawa. Yuki yang sedang lelap tertidur, tersenyum. Seolah mengerti ucapan orang dewasa
"Iya, Din. Maafin Mamas, ya?"
"Picik sekali jalan pikiranmu, Mas!" Dinda masih terbakar emosi, "di mana mulut manis kemarin? Hah?!"
Air mata wanita itu belum surut sejak lima tahun yang lalu. Tiada obat untuk hati yang terluka. Hingga dia putuskan untuk menyendiri. Mungkin jalan hidup akan jauh lebih baik, pikirnya.
"Tak ada usaha yang tak sampai," Adinda mengeja. "Akan ada hasil dari lelah perjuangan. Meski, banyak orang yang menjuluki hasil dengan kegagalan. Padahal jauh daripada itu semua, itulah batas kemampuan diri. Tak harus dipaksakan. Memang tak harus," lanjutnya menlis buku harian.
Bagi Adinda--gadis dua puluh tahun--ada satu momentum dalam kehidupan yang mapu mengubah jalan hidup. Entah itu menjadi lebih baik, pun menjadi lebih buruk dalam mengarungi bahtera hidup. Dunia adalah lautan. Dan banyak yang tenggelam karenanya. Sedang kehidupan laksana gelombang, yang siap membuat karam kapal sebesar apa-dan kapan pun.
"Adinda!" Pekik seorang pria dari belakang.
Adinda berhenti di jembatan penyebrangan pusat Kota Winna. Saat menoleh, pikirnya melanglang jauh--memang dalam mengarungi hidup kita hanya dihadapkan pada masa lalu : besarnya gelombang yang dilalui. Pun gambaran tentang pelabuhan di mana kapalmu menepi--mengorek, memuat ulang.
"Mas Yacob!?" Wajah gadis itu berseri. "Apa itu kau Mas Yacob?"
"Iya! Ini aku," ucap pria itu berlari kecil mendekati.
Belum sempat Adinda melepas rindu akan pertemuan itu. Pada sahabat di masa lalunya, yang sempat dititipkan harapan padanya, kini ada di hadapan, sebelumnya pergi. Dan dirasanya tidak akan pernah kembali. Kenyataan itu menyalahkan anggapannya selama ini
"Adinda sedang apa di Winna?" Yacob mengaburkan lamunan gadis masa lalunya.
"Aku mendapat beasiswa di sini, Mas." Binar wajahnya tak sanggup tutupi kebahagiaan yang membuncah. "Kalau kamu sendiri, Mas?"
"Aku? Ah, jangan bercanda Dinda. Kamu tahu kan sejak awal atas keputusanku pergi?" Kata-kata itu hanya menciptakan keheningan di antara keduanya. "Dulu, aku ingin belajar agama darimu. Tapi kurasa lagi tidak.Harus lebih dari itu untuk menjadi seorang imam."
"Maksudnya?"
"Aku sudah menjadi mualaf, yang InsyAllah lebih baik daripada yang kamu kenal dulu, Dinda."
"Apa itu alasanmu bicara tetap lembuh kepadaku, Mas? Meski aku tiap kalinya membantakmu? Jelasin ke seorang sahabat yang pernah kamu bilang seperti adikmu sendiri, Mas."
"Iya, Din. Untuk itu." Yacob menghela nafas panjang sebelum memulai. "Karena sudah jadi kewajiban seorang imam untuk tetap berkata lembut. Dan aku ingin menjadi imammu, Din."
Adinda tidak tahu bagaimana menenukan sikap. Wajahnya yang kemerah-merahan ditundukkan tiba-tiba. "Maksudmu, Mas?" Dinda kehabisan kata-kata.
"Aku selalu berharap bisa berjodoh denganmu. Dengan perempuan lembut, yang kadang mengesalkan, sungguh." Yacob menyadari jantungnya berpacu melewati waktu. "Tapi keluarga tidak akan berjalan harmonis tanpa cinta. Kita bisa saja mengucapnya berulang kali. Menceritakan cinta masing-masing setiap hari. Dan cinta yang sebenarnya hanya bisa dirasakan hati, bukan untuk dibagi. Aku jatuh cinta dengan Islam bahkan sebelum kuucap dua kalimat syahadat. Dan cinta itu yang kuyakini, kini membawamu kembali kepadaku. Percaya atau tidak, Adindaku, jadilah 'madrasah' pertama untuk keturunan kita kelak."
"Secepat inikah?" Gadis itu merasakan sepat di ujung lidah.
"Bahkan kita saling mengenal dulu. Bahkan kita dulu bersama. Bahkan kita sudah menunggu lama ... " belum usai Yacob bermetafora.
"Simpan saja semua kata manismu! Perempuan mana yang sudi menerima pinangan, Malaikat sekalipun, di pinggir jalan. Dan bukannya di hadapan kedua orang tua perempuan itu." Adinda memberanikan diri, "Datanglah ke kediaman orang tuaku, di Indonesia. Mintalah kepada mereka, jika memang Mamas bersungguh-sungguh."
Dua tahun berlalu. Tak ada yang berubah dari keduannya, selain menjadi suami-istri, kini ada Yuki. Putri cantik yang baru melihat dunia sebulan lalu.
"Dinda. Minggu depan pacarku ulang tahun. Kira-kira hadiah apa yang cocok ya?" tanya Dilla, sahabatnya yang juga berasal dari Indonesia yang datang menjengung. "Miniatur menara Eifel? atau atau couple?"
"Jaman sudah berubah, Dil, " Adinda tertawa saat bicara. "Sekarang jamannya buku coule. Buku nikah."
Dan mereka berdua tertawa. Yuki yang sedang lelap tertidur, tersenyum. Seolah mengerti ucapan orang dewasa