4. Rosé : Bintang Jatuh



Rose mengawali paginya dengan isak tangis yang tidak dijelaskan sebabnya. Hanya kulihat kaku pada matanya yang bisu. Bibir yang sebelumnya seindah mawar merekah itu menghilang ditutupnya rapat. Rose layu, seperti bunga-bunga di penghujung senja.

"Kakak ..." ucapku ragu, "kenapa?"

Rose tidak menjawab sepatah katapun. Hanya kulihat matanya mencari-cari alasan di balik tiap-tiap sudut mataku, mengapa aku bertanya seolah orang paling peduli, mungkin.

"Kenapa, dek?" gumamnya menunjukkan sedih, "apa semua pria itu sama, dek?" lanjutnya mengejutkan.

"Iya kak ... sama" jelasku singkat tak ingin kecewakan.

"Pantas dirimu menyebalkan sama seperti pria lainnya!!!"

Aku semakin bingung. Mungkin salah aku berkata. Mungkin keadaan yang salah. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mendekat-biarkan waktu yang menjawab; meskipun waktu tidak bisa menjawab apapun tapi kita butuh waktu untuk menjawab.

"Kakak kecewa?" tanyaku semakin ingin mengenal.
Hanya kepalanya mengangguk, beri isyarat 'ya' setujui pertanyaanku.

"Bersabarlah untuk segala sesuatu, kak" nasihatku sok bijak.

"Kurang sabar apa aku, dek?"

"Tanya hatimu, Kak...."

Maafkan aku Rose. Yang aku tahu kesabaran itu seperti Intan. Mampu bertahan dari segala tekanan yang luar biasa, hingga kilaunya berharga mahal sekali. Atau seperti Bintang, berjarak ribuan tahun cahaya. Yang kilaunya tetap indah.

Hingga kami saling bersembunyi dalam diam. Diam-diam kulihat bulir air mata Rose kembali jatuh. Berkilau, mencoba mendapat kilau yang utuh, mungkin. Bak bintang jatuh.


You may like these posts