Rindu di Penghujung Petang

Cerpen Mirna Alfiani (Jurnal Asia, 11 Agustus 2018)
[Rindu di Penghujung Petang ilustrasi Jurnal Asia ]

Hujan belum juga reda dan kita hanya berdiam di balkon. Kau masih bisu dengan secarik kertas yang kau remas. Kenapa sedari tadi kau mematung? Perpisahan tiga tahun tidakkah itu cukup lama untuk kau melupakan dia? Berhentilah menangisi seseorang yang tidak mungkin kembali lagi. Apa gunanya aku di sini, jika kau hanya meratapi kesedihanmu tanpa mau berbagi. Kulirik lagi wajahmu yang menunduk, ditutupi rambutmu yang tergerai. Kau masih saja terpejam barangkali sedang membendung air mata di matamu atau kau sengaja tidak ingin melihat diriku yang terus mengoceh sedari tadi.



“Kinan,” ucapku pelan. Tapi kau masih sama saja diam. Mata dan leherku yang mulai lelah melihat ke arahmu tanpa jawaban mulai mengedarkan pandangan ke pematang sawah yang mulai terlahap gelap. Sesekali kudengar suara jangkrik yang begitu nyaring dan tak lama kemudian kau mulai membuka suara.

“Aku belum bisa,” ucapmu lirih dan terdengar basah.

“Pram begitu sulit untuk aku hapus dalam kenangan. Aku masih butuh teman untuk membantuku menghapuskan kenangan tentangnya. Tapi apa? Kau juga ingin pergi. Apa kau sudah tak ingin kurepotkan lagi.”

Aku meninggikan kerah jaket, hawa dingin di sini belum terusir juga. Lalu beranjak ke dalam mencari sesuatu yang bisa mengahangatkan tubuh. Kuraih selimut yang ada di kasur Kinan. Kemudian kututupi punggungnya dari arah belakang. “Pakailah, nanti kau sakit.” Lalu, aku duduk kembali di sebelahnya. Kurapatkan lagi tubuhku dengannya dan tanganku mengait pundaknya, lalu kau letakkan kepalamu ke bahuku yang memang sudah menjadi tempat ternyamanmu untuk bersandar ketika kau sedang bersedih. Aku tahu saat seperti ini tidak ada yang lebih baik selain saling bisu, saling diam, dan saling merasakan dengan dekapan.

“Mengenai pertanyaanmu tadi, bukan aku tak ingin direpotkan olehmu. Tapi aku juga punya kehidupan, punya tanggung jawab yang harus aku selesaikan. Tahun depan baru bisa menemuimu. Atau kau ikut saja denganku ke Jogja sekalian menenangkan diri.”

Lama kita seperti ini, hampir menit ketigapuluh dan kertas yang kau genggam tadi pun jatuh dari tangan mulusmu layaknya daun kering yang terlepas dari rantingnya. Ketika kau hendak mengambil kertas itu, cepat-cepat kurengkuh telapak tanganmu yang dingin dan kini berpagutan dengan telapak tanganku. “Jangan kau lepas, biar saja begini.” Lalu kita kembali membisu menatap langit sore berhias pelangi. Sampai akhirnya satu anggukan ringan itu kau lakukan.



“Ya, kalau memang seperti itu aku tidak bisa memaksa karena kau juga punya kesibukan dan aku tidak ingin mengganggumu dengan aku ikut ke Jogja. Apalagi yang bisa kulakukan di sini selain bersedih.” Ucapmu.

“Hussstt… tidak baik terus-terusan bersedih. Lakukanlah hal yang membuat hatimu lebih tenang. Kau bisa menelponku kapan saja yang kau mau, atau sesekali pergilah ke toko buku. Sebab melarikan diri ke toko buku itu lebih menyenangkan, kau bisa menemukan duniamu sendiri. Kalau tak percaya coba saja.” Jawabku.

“Baiklah, akan aku coba saranmu.”

Kuangkat dagunya menggunakan telunjukku, kulihat wajahnya masih basah, lalu jariku menyeka air matanya. Tak lama kemudian kulihat senyum simpul itu mulai terbit pada wajahnya yang tadi pias. Kemudian untuk kesekian kalinya kami kembali membisu dengan kepala Kinan yang masih menempel di bahuku. Kubiarkan saja, aku tak ingin mengusik kenyamanannya. Sejam lebih berselang, kulihat lagi wajahnya yang tertutup oleh rambut, lalu kusingkirkan pelan-pelan rambut yang menutupi wajahnya, dan ternyata kinan tertidur.

Kulihat arloji, jam sudah menunjukkan pukul 21.15. “Sudah terlalu lama aku di sini” batinku. Lalu, kubangunkan Kinan dengan menepuk pundaknya pelan. “Kinan.. bangun, sudah malam nih. Ayo masuk ke kamarmu. Aku juga ingin pulang. Besok pagi aku sudah berangkat.”

Kinan yang masih setengah sadar, langsung bangkit dari tidurnya. “Oh iya maaf aku ketiduran. Sekali lagi terima kasih ya, Jo. Kau memang sahabatku yang paling mengerti.”

“Iya, santai aja. Kau jaga kesehatan ya.”

Sebelum aku pamit, untuk terakhir kalinya kupeluk Kinan dengan sedikit lebih lama. “Semua akan baik-baik saja. Semangat!!” Bisikku.

***

Banyak yang berubah sejak kita tak saling bertemu. Selain saran yang kau anjurkan padaku tempo itu untuk sering-sering ke toko buku ternyata manjur, sedikit demi sedikit aku mulai bisa melepaskan semua kenanganku bersama Pram. Dan satu lagi hal yang paling aneh kurasakan yaitu, aku begitu merindukanmu lebih dari sekedar teman. Entahlah aku terkadang bingung mengungkapkannya.





“Di balkon ini aku sering menghabiskan waktu untuk memutar kembali memori kala kau menjadi penenangku, Jo. Begitu manis. Pasti beruntung wanita yang bisa mendapatkan hatimu.” Batinku.

Ketika sedang asyik melamun sambil menunggu senja di makan langit malam, tiba-tiba ada yang menutup mataku dari arah belakang. Sontak aku terkejut dan secepat kilat kuhempaskan tangan itu dari wajahku. Lalu, aku menoleh ke belakang dan ternyata Johan. Ya Tuhan, tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya erat, seseorang yang akhir-akhir ini membuatku susah fokus. Aku begitu merindukannya.

Tak mau kalah, ia membalas pelukku lebih erat.

“Kenapa tidak mengabariku kalau pulang?” Tanyaku sedikit kesal.

“Hahaha, kalau aku mengabarimu nanti gagal kejutannya.” Jawab Johan sedikit meledek.

“Kinan, tujuanku pulang ke sini ingin menyampaikan hal penting padamu.”

“Hal penting apa itu?”

Kemudian Johan meraih kedua tanganku lalu digenggamnya. “Aku ingin berkata jujur padamu. Entah ini salah atau tidak. Yang pasti ini adalah waktu yang tepat. Kinan, kita memang bersahabat sudah cukup lama. Tapi jauh sebelum kita seperti ini, aku sudah menyukaimu. Tapi aku takut untuk mengungkapkannya padamu, karena kau sudah bersama Pram. Jadi kuputuskan aku mendekatimu sebagai seorang teman, sebab itu akan lebih membuatku nyaman tanpa harus kau tahu isi hatiku sebenarnya. Tapi setelah melihat kondisimu seperti ini, aku tidak ingin ada lagi laki-laki lain seperti Pram datang di kehidupanmu lalu pergi seenaknya. Aku ingin lebih dari seorang teman, aku mau kau menjadi rumah tempatku pulang.”

“Kinan, maukah kau menikah denganku?” Tanya Johan sambil memegang tangan Kinan.

Kinan tak menyangka, sahabatnya sendiri akan melamar dia. Tak butuh waktu cukup lama untuk Kinan menjawab pertanyan Johan tadi.

“Ya, Jo, aku bersedia menikah denganmu.” Jawab Kinan sambil memeluk erat Johan.

Dan mereka berdua meneteskan air mata bahagia. Kukatakan satu rahasia kecil untuk kalian yang membaca ini. Jika lisan sulit menjelaskan, cukup diam, sebab rindu yang dipelihara oleh jarak akan dewasa saat ia pulang. Jadi biarkan peluk yang menceritakan semuanya. ***



Penulis adalah Alumni Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU.

You may like these posts